Minggu, 20 Januari 2013

SEKILAS PANDANGAN ETIKA BISNIS DI INDONESIA

Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyaaatn atau sekedar “lips-service” belaka. Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas.

Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, adalah tidak berfungsinya praktek etika
bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen.

Praktek penerapan etika
bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis bersama-sama corporate-culture atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.

Sudah terlalu banyak kasus pelanggaran etika
bisnis yang terjadi di negeri ini, dari pelaku bisnis terkecil seperti tukang gorengan keliling yang memakai plastik dalam pembuatan gorengan agar lebih renyah hingga pelaku bisnis besar seperti perusahaan operator seluler yang dalam iklannya mengandung unsur kebohongan.

Kini saatnya pemerintah Indonesia bertindak tegas dalam urusan etika
bisnis, tidak hanya itu masyarakat selaku konsumen seharusnya lebih bisa menjadi “konsumen cerdas” dalam memilih produk yang dijual. Dengan ini diharapkan akan timbul kesadaran terhadap para pelaku bisnis agar semua pihak merasa aman.

Etika Bisnis, Membangun Kepedulian dalam Lingkungan Perusahaan dan Masyarakat

Saat ini, mungkin ada sebagian masyarakat yang belum mengenali apa itu etika dalam berbisnis. Bisa jadi masyarakat beranggapan bahwa berbisnis tidak perlu menggunakan etika, karena urusan etika hanya berlaku di masyarakat yang memiliki kultur budaya yang kuat. Ataupun etika hanya menjadi wilayah pribadi seseorang. Tetapi pada kenyataannya etika tetap saja masih berlaku dan banyak diterapkan di masyarakat itu sendiri. Bagaimana dengan di lingkungan perusahaan? Perusahaan juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yang cukup jelas dalam pengelolaannya. Ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. Baik dalam tataran manajemen ataupun personal dalam setiap team maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar. Untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri.
Namun apakah etika itu sendiri dapat teraplikasi dan dirasakan oleh pihak-pihak yang wajib mendapatkannya? Pada prakteknya banyak perusahaan yang mengesampingkan etika demi tercapainya keuntungan yang berlipat ganda. Lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga menggeser prioritas perusahaan dalam membangun kepedulian di masyarakat. Kecenderungan itu memunculkan manipulasi dan penyelewengan untuk lebih mengarah pada tercapainya kepentingan perusahaan. Praktek penyimpangan ini terjadi tidak hanya di perusahaan di Indonesia, namun terjadi pula kasus-kasus penting di luar negeri.
Contoh kasus:
di dalam negeri, kita diingatkan oleh Freeport dengan perusakan lingkungan. Masyarakat dengan mata kepala sendiri menyaksikan tanah airnya dikeruk habis. Sehingga dampak dari hadirnya Freeport mendekatkan masyarakat dari keterbelakangan. Kalaupun masyarakat menerima ganti rugi, itu hanyalah peredam sesaat, karena yang terjadi justru masyarakat tidak banyak belajar dari usahanya sendiri. Masyarakat terlena dengan ganti rugi tiap tahunnya, padahal dampak jangka panjangnya sungguh luar biasa. Masyarakat akan semakin terpuruk dari segi mental dan kebudayaannya akan terkikis. Juga dalam beberapa tahun ini, tentunya kita masih disegarkan oleh kasus lumpur Lapindo. Kita tahu berapa hektar tanah yang terendam lumpur, sehingga membuat masyarakat harus meninggalkan rumahnya. Mungkin bisa jadi ada unsur kesengajaan di dalamnya. Demi peningkatan profit yang tinggi, ada hal yang perlu dikorbankan, tentunya tidak lain masyarakat itu sendiri. Kita juga masih ingat akan kasus Teluk Buyat yang menyebabkan tercemarnya lingkungan tersebut. Yang cukup menghebohkan mungkin kasus Marsinah, seorang buruh yang memperjuangkan hak-haknya, tetapi mengalami peristiwa tragis yang membuat nyawanya melayang.
Semua itu terjadi karena tidak diterapkannya etika dalam berbisnis. Di dalam etika itu sendiri terkandung penghargaan, penghormatan, tanggungjawab moral dan sosial terhadap manusia dan alam. Kalau kita melihat lebih jauh tentunya ada dua kepentingan, baik dari perusahaan dan masyarakat yang perlu diselaraskan. Di dalamnya terkandung juga hak dan kewajiban yang harus terpenuhi. Coba mari kita renungkan bersama, bukankah tidak diterapkannya etika dalam berbisnis justru akan menjadi bumerang bagi perusahaan tersebut? Mungkin akan banyak biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan kasus serta citra perusahaan di masyarakat luas semakin miring. Hal ini justru akan sangat merugikan perusahaan itu sendiri.
Belum lagi kasus yang terjadi di luar negeri. Sebagai contoh adalah kasus asuransi Prudential di Amerika. Belum lagi skandal Enron ,Tycon, Worldcom dsb. Banyaknya kasus yang terjadi membuat masyarakat berpikir dan mulai menerapkan etika dalam berbisnis. Apalagi sekarang masyarakat mulai membicarakan CSR (Corporate Social Responsibility). Apa itu? Dalam artikel yang ditulis oleh Chairil Siregar disebutkan CSR merupakan program yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan undang-undang pasal 74 Perseroan Terbatas. Tentunya dengan adanya undang-undang ini, industri maupun korporasi wajib melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan beban yang memberatkan. Salah satu contoh yaitu komitmen Goodyear dalam membangun masyarakat madani, ekonomi, pendidikan, kesehatan jasmani, juga kesehatan sosial. Kepedulian ini sebagai wujud nyata peran serta perusahaan di tengah masyarakat. Perlu diingat pembangunan suatu negara bukan hanya tanggungjawab pemerintah dan industri saja tetapi setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan kualitas hidup masyarakat.
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=14239